Susi Pudjiastuti, pendiri dan
President Direktur PT. ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan
dan PT. ASI Pudjiastuti Aviation yang jadi operator penerbangan Susi
Air. Bukan hanya itu, bahasa Inggris nya sangat fasih ketika berbincang
dengan mereka pilot- pilot bule dari Susi Air. Susi -penggilan akrabnya-
juga menggunakan bahasa Sunda dan sesekali bahasa Jawa kepada pembantu-
pembantunya.
Wanita kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965 tersebut, telah memiliki
50 unit pesawat berbagai jenis. Di antaranya jenis Grand Caravan 208B,
Piaggio Avanti II, Pilatus Poter, serta Diamond DA 42. Kebanyakan
pesawat itu dioperasikan di luar Jawa, seperti Papua dan Kalimantan.
"Ada disewa. Namun, ada yang dioperasikan sendiri oleh Susi Air.
Biasanya dipakai di daerah-daerah perbatasan oleh pemda atau swasta,"
jelas wanita yang betis kanannya ditato gambar burung phoenix dengan
ekor menjuntai itu.
BISNIS GILA
Pertama kali ingin pinjam ke bank dianggap gila. Akhirnya ia menjual
cincin dan perhiasan lain untuk modal bakul ikan. Keputusannya untuk
keluar dari sekolah di umur 17 tahun sangat disesalkan oleh kedua orang
tuanya. Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, kini Susi sudah punya
50 pesawat terbang dan pabrik pengolahan ikan yang berkualitas melayani
kebutuhan ekspor.
Tidak tamat sekolah bukan berarti berhenti berbuat.. Susi memang punya
bakat bisnis bahkan sejak masih belia. Pendirian kuat dan kemauannya
yang keras mulai terlihat sangat jelas ketika memasuki umur 17 tahun.
Dia memutuskan keluar dari sekolah ketika masih kelas II SMA. Lalu
memutuskan untuk keluar dari rumah, bukan karena menyesal, Susi tak
ingin numpang hidup dan ingin mencoba hidup mandiri. Tapi, kenyataan itu
tak semudah yang dibayangkan.
"Cuma bawa ijasah SMP, kalau ngelamar jadi apa saya. Saya enggak mau
yang biasa- biasa saja," ujarnya. Kerja keras itu pun dilakoni wanita
Susi saat itu. Mulai dari bejualan baju, bed cover, hingga yang manarik
ia menjual hasil bumi seperti cengkeh. Setiap hari, Susi tak berhenti
bekeliling kota Pangandaran menggunakan sepeda motor untuk memasarkan
barang dagangannya. Hingga suatu saat, ia menyadari satu hal tentang
kota itu, potensi terbesarnya ada pada bidang perikanan.
"Mulailah saya pengen jualan ikan karena setiap hari lihat ratusan
nelayan," tuturnya. Di tahun 1983, berbekal Rp.750 ribu hasil penjualan
perhiasan berupa gelang, kalung serta cincin miliknya, Susi mengikuti
jejak para wanita Pangandaran menjadi bakul ikan. Tiap pagi di jam- jam
tertentu, dia nimbrung bareng yang lain untuk berkurumun di TPI (tempat
pelelangan ikan).
"Pada hari pertama, saya hanya dapat 1 kilogram ikan, dibeli sebuah
resto kecil kenalan saya," kengangnya. Tak cukup hanya di Pangandaran,
Susi ingin mengembangan bisnisnya hingga kota besar seperti Jakarta.
Dari sekedar menyewa, ia pun sukses membeli truk dengan sistem pendingin
es batu dan membawa ikan- ikan segarnya ke Jakarta. "Tiap hari, pukul
tiga sore, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah
malam, lalu balik lagi ke Pangandaran," ucapnya mengenang pekerjaan
rutinnya yang berat pada masa lalu.
Bicara bisnis beda jika berbicara soal asmaranya. Susi mengaku gagal
dalam hal asmara. Wanita pengagum tokoh Semar dalam pewayangan mengaku
telah tiga kali menikah. Tapi, biduk yang telah dia arungi bersama
ketiga suaminya tak sebiru laut Pangandaran. Semua karam. Dari suaminya
yang terakhirlah, Christian von Strombeck, sang Wonder Woman ini
mendapat inspirasi untuk mengembangkan bisnis penerbangan.
Bisnis penerbangan
"Dia seorang aviation engineer," lanjutnya. Christian merupakan seorang ekspatriat yang pernah bekerja di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara yang sekarang bernama PT DI). Awal perkenalannya dengan lelaki asal Prancis itu terjadi saat Christian sering bertandang ke Restoran Hilmans milik Susi di Pantai Pangandaran. Berawal dari perkenalan singkat, Christian akhirnya melamar Susi.
Bersama Christian lah Susi berangan- angan memiliki sebuah pesawat dengan tujuan utama mengangkut hasil perikanan ke Jakarta. Satu- satunya jalan, lanjut Susi, ialah mendirikan landasan- landasan pesawat di desa- desa nelayan tersebut. "Jadi, tangkap ikan hari ini, sorenya sudah bisa dibawa ke Jakarta. Kan cuma sejam," tegas ibu tiga anak dan satu cucu tersebut.
Berbeda dengan menggunakan jalur darat tentunya dimana bisa memakan waktu sembilan jam perjalanan. Jadi bisnis penerbangan ini bukan hanya berbicara tentang mengangkut manusia. Bayangkan waktu sembilan jam dengan satu jam, sembilan jam pastilah membuat ikan- ikan ini mati. Mau pake es? Beda nilainya, kita tau sendiri ikan dinilai dari tingkat kesegarannya. Jika mati, ujar Susi, harga ikan setiapnya bisa jadi anjlok setengahnya.
"Kami mulai masukin business plan ke perbankan pada 2000, tapi nggak laku. Diketawain sama orang bank dan dianggap gila." terang Susi.
"Mau beli pesawat USD 2 juta, bagaimana ikan sama udang bisa bayar?",
ujar Susi melanjutkan. Barulah pada 2004, Bank Mandiri percaya dan
memberi pinjaman sebesar USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk
membangun landasan, serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan.
Namun, baru sebulan dipakai, terjadi bencana tsunami di Aceh."Tanggal 27
kami berangkatkan satu pesawat untuk bantu. Itu jadi pesawat pertama
yang mendarat di Meulaboh. Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa
beras, mi instan, air dan tenda-tenda," ungkapnya.
Seperti cerita kebanyakan menjadi pengusaha tidak melulu soal uang.
Awalnya, Susi berniat membantu distribusi bahan pokok secara gratis
selama dua minggu saja. Tapi, ketika hendak balik, banyak lembaga
non-pemerintah yang memintanya tetap berpartisipasi dalam recovery di
Aceh. "Mereka mau bayar sewa pesawat kami. Satu setengah tahun kami
kerja di sana. Dari situ, Susi Air bisa beli satu pesawat lagi,"
jelasnya.
Ternyata dari bantuan nama bisnisnya semakin terdengar. Banyak
permintaan menyewa pesawat jadilah ini bisnis sewa menyewa jasa
penerbangan. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp 47 miliar sekarang
tinggal 20 persennya. "Setahun lagi selesai. Tinggal tiga kali cicilan
lagi. Dari BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau ditotal, semua
(pinjaman dari perbankan) lebih dari Rp 2 triliun. Return of investment
(balik modal) kalau di penerbangan bisa 10-15 tahun karena mahal,"
katanya.
Susi tak hanya mengepakan sayap di bisnis penerbangan atau sekedar
menjaring ikan di laut. Sekarang pun, ia telah merambah bisnis
perkebunan. Meski begitu, ia mengaku ada banyak rintangan yang haru
dilalui. "Perikanan kita sempat hampir rugi karena tsunami di Pagandaran
pada 2005. Kami sempat dua tahun nggak ada kerja perikanan," tuturnya.
Untuk rute penerbangan Jakarta- Pangandaran, Bandung- Pangandaran dan
Jakarta- Cilacap, Susi mengaku masih merugi. Sebab terkadang hanya ada
3-4 penumpang saja. Dengan harga tiket senilai Rp.500 ribu, itu tak
cukup untuk membeli bahan bakar saja. "Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp
300 juta sampai Rp 400 juta. Tapi, kan tertutupi dari yang luar Jawa.
Lagian, itu juga berguna untuk mengangkut perikanan kami," ujarnya.
Susi harus mengutamakan para pembeli ikannya, karena mereka sensitif
soal kesegaran ikan. Sekali angkut dalam satu pesawat, dia bisa
memasukkan 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan
Jepang setiap hari menunggu di Jakarta. "Bisnis ikan serta lobster
tetap jalan dan bisnis penerbangan akan terus kami kembangkan. Tahun
depan kami harap sudah bisa memiliki 60 pesawat," katanya lagi, kali ini
penuh optimisme.
0 comments:
Post a Comment